Selasa, 24 Juni 2014

What If Love #1

"Nobody said it was easy. It's such a shame for us to part.
Nobody said it was easy .No one ever said it would be this hard.
Take me back to the start"

Lagu Coldplay - The Scientist berulang - ulang terputar dalam mp3 Marshall, ya sekarang memang dia sedang berdoa agar semuanya kembali seperti semula, kembali pada saat satu minggu yang lalu, saat dia masi bisa menggenggam tangan wanita itu, tangan yang selalu bisa menenangkan hati dan pikirannya saat Marshall menggenggamnya.

Suasana Kota Surabaya sore itu terik disinari matahari, jam masi menunjukkan pukul 3.30pm dan suasana Lapangan Basket Villa Bukit Mas masi terlihat senggang, hanya terlihat sesosok laki - laki berpakaian singlet duduk di pinggir lapangan sambil menyeka peluh yang menuruni dahinya. Laki - laki terlihat muram, raut mukanya yang biasanya ceria dalam beberapa minggu belakangan ini nampak biru setelah dia pulang dari Mt. Semeru. Dia yang sesungguhnya sudah menyiapkan semuanya dengan indah ternyata bukan pulang dengan membawa kabar bahagia melainkan pulang dengan membawa buah tangan berupa beberapa jahitan di dagunya. Ironis memang.

"Woiii", Ryan berteriak tepat dibelakang telinga Marshall, sukses membuat laki - laki itu terkaget dan menyumpahinya.
"Kampret lo Yan", Dipukulnya Ryan dengan menggunakan handuk bekasnya mengusap peluh
"Haish, lo kalau mukul pake yang bagus dikit napa Shall. Baju gue bau keringet lo nih sekarang. Rese' lo", Ryan mulai memasang muka marah dan Marshall hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya satu ini.
"Jadi ke Siloam?", Tanya Ryan yang reflek membuat Marshall kembali murung.
"Jadi, Ayo sekarang, Mau?", Cowok ganteng itu berdiri sambil mengemasi sepatu basket dan botol minumnya. "Mobil lo dimana?", Tanyanya lagi.
"Tuh, Disitu", Ryan menujuk kepada sebuah mobil Honda Jazz putih yang terpakir tidak jauh dari lapangan tempat mereka berada sekarang.

Selama perjalanan itu tidak ada sepata katapun yang terucap dari keduanya sampai akhirnya Ryan membuka percakapan.

"Lo masih sayang Dea setelah apa yang dia lakuin sama lo?. Gue masih gak nyangka Dea bisa sejahat itu sama lo", Ryan bertanya sekaligus menyatakan opininya.
"Entahlah, gue masi bingung dengan semua ini", Ucap Marshall sambil memengang dahinya yang terasa nyeri kembali.